TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
close menu

Masuk


Tutup x

Hukum Disiplin Terhadap PNS Koruptor

Penulis: | Editor:

Pengertian kejahatan jabatan di dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidanaadalahsejumlah kejahatan tertentu,yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai Pegawai Negeri. Unsur kejahatan jabatan sebagai tindak pidana korupsi yang mengakibatkan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Pegawai Negeri Sipil. Konsep yang menyangkut kejahatan jabatan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut mengacu pada tindak pidana korupsi yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 5 -12 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan bahwa:“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mencantumkan unsur “melawan hukum” secara berdiri sendiri (bukan merupakan bestanddel delict), yang ada adalah unsur “menyalahgunakan kewenangan”. Secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum, karena penyalahgunaan wewenang esensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan “genus”nya, sedangkan unsur “penyalahgunaan wewenang” adalah “species”nya. Hal ini bukan berarti bahwa delik ini dapat dilakukan tanpa unsur “melawan hukum” sebab unsur melawan hukumnya termaktub dalam keseluruhan perumusan. Melawan hukum adalah tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan (korupsi) tersebut.

Penggunaan unsur melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang sebagai dakwaan terhadap pejabat atau pegawai negeri harus memilih Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena keduanya pada prinsipnya sama, hanya berbeda pada subyek deliknya. Jika subyek deliknya bukan pejabat atau pegawai negeri dapat mempergunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau pasal lain selain pasal 3.

BACA JUGA :  Satpol PP Dukung Bea Cukai Madura Berantas Rokok Ilegal di Pamekasan

Corruption by Need menjadi salah satu faktor utama mengapa oknum-oknum PNS melakukan korupsi. Akan tetapi pada dasarnya setiap korupsi bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang sistemik dan terencana. Adanya kesempatan, kemauan, dan kemampuan semakin menunjukkan bahwa perilaku koruptif adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran. Korupsi pada hakikatnya adalah kejahatan yang berdampak pada kemanusiaan, yang sistematis, dan sangat merusak. Spontanitas yang terjadi saat melakukan korupsi hanya berada pada tatanan keinginan untuk melakukan, namun pada upayanya, dilakukan dengan sistematis dan terencana. Kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana pasti dihukum lebih berat, demikian halnya dengan kasus korupsi, padahal sudah jelas korupsi adalah kejahatan yang terencana, bahkan sudah dimulai sejak perencanaan dan penganggaran disusun, dilakukan rekayasa administrasi maupun secara keuangan yang tentu saja dengan kemampuan berfikir dan akal sehat, dan bahkan didukung adanya kebijakan dan/atau peraturan agar seolah-olah legal, dan korupsi itu tidak mungkin dilakukan seorang diri. Jadi sudah sewajarnya hukuman korupsi harus lebih berat dari kejahatan-kejahatan lainnya, selain termasuk kejahatan berencana juga membawa dampak negatif yang luas bagi sistem ekonomi, politik, hukum, dan keamanan suatu negara.

Pada saat seorang PNS ditahan oleh penyidik berdasarkan alat-alat bukti yang ada, maka guna kepentingan peradilan yang bersangkutan harus dibebaskan sementara dari jabatannya sampai dengan keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selama dibebaskan sementara dari jabatannya, maka mulai bulan berikutnya, ia hanya berhak atas 50% dari gaji pokok terakhir jika terdapat petunjuk-petunjuk yang meyakinkan bahwa ia melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya, dan sebaliknya jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah dilakukan pelanggaran olehnya, maka ia hanya berhak atas 75% dari gaji pokok terakhir. Perbuatan seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu lingkup tugasnya dapat dibedakan atas tindakan perseorangan dan tindakan badan hukum (institusi kepegawaiannya).Tindakan perseorangan secara pribadi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil dapat mengarah pada terjadinya kejahatan jabatan. Mengenai kejahatan jabatan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,diatur dalam ketentuan pasal 87 ayat (4) huruf b, yaitu :“Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum”. Ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dimana dalam Pasal 139 menyatakan bahwa semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 jo Nomor 43 Tahun 1999 masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti oleh undang-undang ini. Dalam Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 menyatakan :” Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila di pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”.Tanpa harus menunggu terbitnya keputusan pemberhentian tidak dengan hormat dari pejabat yang berwenang yang dalam prakteknya bisa turun lama, maka begitu pimpinan unit kerja tahu keputusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, ia harus jeli dan bertindak cepat dengan memberhentikan gaji PNS koruptor, karena jika gaji terlanjur telah dibayarkan PNS koruptor tersebut harus mengembalikan ke kas negara.

BACA JUGA :  Dengan Penuh Semangat, Babinsa Samadua Bersama Warga Bangun Jalan Tani

Ke depan akan lebih dipertegas lagi dengan akan diberlakukannya Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang pada saat ini sudah dalam proses penetapan oleh Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang harus ada paling lambat 2 (dua) tahun setelah UU ASN diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014. Dalam Pasal 250 huruf b Draft Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS dinyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila : “dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum”. Kelak Pasal 250 huruf b ini akan menggantikan Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 yang akan dicabut berkenaan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Tentang Manajemen PNS pada tahun 2016. Jadi dari dulu seiring dengan Undang-Undang Kepegawaian yang sudah mengalami 2 kali perubahan sejak tahun 1961, pemerintah tetap konsisten dalam menerapkan ketegasan terhadap PNS koruptor mulai dari Pasal 7 ayat (1) huruf e UU Nomor 18 Tahun 1961, Pasal 23 ayat (4) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1974 jo Pasal 23 ayat (5) huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999, dan sekarang Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014.

BACA JUGA :  Tangkal Covid-19, Polsek Larangan Tak Ada Hentinya Sampaikan Himbauan Prokes Kepada Masyarakat

Berdasarkan pada ketentuan pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dan Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, maka apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pemberhentian ini terhitung mulai akhir bulan keputusan pengadilan atas perkaranya mempunyai kekuatan pasti sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966. Jadi bagi para PNS, apakah masih mau main-main lagi dengan tangan kotormu, jangan sampai harkat dan martabatmu tercoreng sehingga membuat diri dan keluargamu malu seumur hidup!!

Sumber : Pusat Dokumentasi Hukum

Terkini Lain